BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Keinginan
untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi
kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai
anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang
dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut.
Dalam hal pemilikan anak, usaha yang pernah mereka lakukan adalah mengangkat
anak atau “adopsi”.
Dalam dunia zaman modern seperti ini kita sering dihadapkan
dengan masalah-masalah yang kerap menodai agama dengan pergaulan yang tanpa
dibatasi dengan aturan atas hukum yang mengikat kepada penganut agama. Sehingga
menjadi sebuah keprihatinan bagi kita umat yang beragama Islam dengan kebiasaan
orang yang tidak peduli dengan aturan yang dalam hal ini menurutnya sebagai
penghalang atas apa yang ingin dilakukan atau dengan kata lain untuk menuruti
keinginan hawa nafsunya.
Padahal agama sama sekali tidak melarang hambanya untuk
melakukan sesuatu yang jika hal itu tidak akan merusak atau menjadi mudharat
bagi yang membangkang. Betapa banyak orang-orang yang melakukan hubungan seks
secara bebas terjangkit hubungan seks secara bebas terjangkit oleh penyakit
yang mematikan, adakah renungan tentang semua itu, itu adalah tanda-tanda
kebesaran Allah bagi orang yang berakal
B.
RUMUSAN MASALAH
Dengan
melihat latar belakang di atas maka penulis menarik beberapa rumusan masalah:
1. Apa
yang dimaksud dengan Adopsi?
2. Bagaimna
Status Hukum pada anak Adopsi?
3. Apa
yang dimaksud dengan Zina serta Hukum Zina?
Bagaimana Status Hukuman
pada anak Zina?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Dengan
melihat rumusan masalah di atas maka penulis dapat menarik beberapa tujuan
pembahasan dari makalah:
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Adopsi?
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Bagaimna Status Hukum pada anak Adopsi?
3. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Apa yang dimaksud dengan Zina & Hukum Zina?
4. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Bagaimana Status Hukuman pada anak Zina?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. ADOPSI DAN STATUS HUKUM ANAK ADOPSI
Secara
etimologi, Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau
“adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat
anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus
diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid
diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak.
Menurut istilah di
kalangan agama dan adat di masyarakat, adopsi mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak sendiri, tanpa
memberi status anak kandung kepadanya;
2. Mengambil
anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak
memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan
hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.
Hukum Adopsi diperkuat
dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 4-5,sebagai berikut:
مَّا
جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ
اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ
أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ(4 ) ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ
اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا
تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (5)
“ …dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.(4).
Panggillah mereka(anak-anak angkat itu ) memakai nama bapak-bapak mereka;
itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka)sebagai saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu, Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(5).
Surat Al-Ahzab ayat 4-5
tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Allah
tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.
b. Anak
angkatmu bukanlah anak kandungmu.
c. Panggillah
anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas
sudah jelas, bahwa yang dilarang adalah pengangkatan
anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Agama Islam mendorong
seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin,
terlantar, dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan
hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas
penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Tidak boleh karena ada
udang dibalik batu dan hal-hal lain yang mengikat.
Menurut hukum Islam
pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
- Tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis
dan keluarga;
- Anak angkat tidak
berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai
pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan
sebagai pewaris dari anak angkatnya;
- Anak angkat tidak
boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekadar
sebagai tanda pengenal/alamat;
- Arang tua angkat
tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.
Dari
ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak
menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang
anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua
angkat merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih
sayang yang murni, dan memperhatikan pula penabdian dan jasa anak angkat
terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka
sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam , secara moral
orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk
kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai
memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogyanya ahli waris orang
tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang
tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula hendaknya
anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap etis dan
manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atau wasiat untuk
kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan
mendidiknya.
Sikap orang tua angkat atau
ahli warisnya dan sebaliknya dengan pendekatan hibah atau wasiat, selain sesuai
dengan asas keadilan Islam juga untuk menghindari konflik antara orang tua
angkat/ ahli warisnya dan anak angkat ahli warisnya, apalagi kalau mereka yang
bersangkutan menurut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum
tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.
2. ZINA DAN STATUS HUKUM ANAK ZINA
Zina adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa
nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan
kedua-duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam
takrif (persetubuhan yang meragukan). Jika seorang lelaki melakukan
persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa
perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan
isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan
yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan
mereka itu tidak sah, maka dalam kasus ini kedua-dua orang itu tidak boleh
didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana
persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan
yang meragukan.
Mengikut
peruntukan hukuman syarak yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith yang
dikuatkuasakan dalam undang-undang Qanun Jinayah Syar’iyyah bahawa orang
yang melakukan perzinaan itu apabila sabit kesalahan di dalam mahkamah
wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu disebat sebanyak 100 kali sebat.
Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bermaksud:
“ Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.(Surah An- Nur ayat 2)
“ Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.(Surah An- Nur ayat 2)
Mengenai bayi yang lahir dari perzinaan, sepakat Ulama Hukum Islam
menetapkan bahwa status anak itu termasuk anak hasil zina bila laki-laki yang
mengawininya bukan yang menghamilinya, akan tetapi bila yang mengawini itu
termasuk orang yang menghamilinya, maka terjadi dua macam pendapat dikalangan
ulama hukum, yaitu :
1.
Ada yang menetapkan
bahwa bayi itu termasuk anak hasil zina, bila ibunya dikawini setelah
kandungannya berumur 4 bulan keatas, dan bila kurang dari umur kandungan
tersebut, maka bayi yang dilahirkannya termasuk anak suaminya yang sah.
2.
Ada lagi yang
menetapkan bahwa bila ibunya sudah hamil, meskipun kandungannya baru beberapa
hari, kemudian dikawini oleh orang yang menghamilinya, maka bayi yang
dilahirkannya bukan anak suaminya yang sah. Karena keberadaannya dalam
kandungan, mendahului perkawinan ibunya, maka bayi tersebut termasuk anak hasil
zina.
Sedangkan
menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masailul Fiqhiyah, menuturkan
dilihat secara hukum perdata Islam, anak
hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya
didunia ini, sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW Artinya :
“Semua anak
yang dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa) dan pembawaan agama
Tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (Hadits riwayat Abu Ya’la,
Al-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Al Aswad bin Sari)
Dan diperkuat
dengan firman Allah dalam surat Al-Najm, ayat 38 yang artinya : “Bahwasannya
seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Oleh karena
itu anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan,
pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat
nanti. Perlu ditambahkan bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari perkawinan,
maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa
hamil yang paling sedikit berdasarkan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 233 dan
surat Al Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari
seorang wanita hamil tidak ada nash yang jelas didalam Al Qur’an dan Sunnah.
Pendapat fuqaha tentang masalah ini berbeda-beda mulai dari 9
bulan menurut mazhab Dzahiri, setahun menurut Muhammad bin Abdul Hakm
al-Maliki, 2 tahun menurut mazhab Hanafi, 4 tahun menurut mazhab Syafi’i dan 5
tahun menurut mazhab Maliki. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena
hanya didasarkan atas informasi dari sebagian wanita yang dijadikan responden,
yang belum tentu mengerti ilmu kesehatan, khususnya ilmu kandungan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa:
v
Adopsi adalah pengangkatan anak atau
menjadikannya sebagai anak.
v
Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya
hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluarga orang tua
yang bersangkutan.
v
.
v
Di dalam al-qur’an Allah SWT banyak
berfirman dan menjelaskan tentang larangan zina.
v
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan
oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah menurut hukum
islam. Zina dibagi dua yaitu zina muhsan dan bukan muhsan.
v
Faktor utama maraknya zina adalah lemah
iman di Negara kita ini, serta pengaruh kemajuan teknologi.
v
Cara mencegah zina yang paling utama adalah
menyegrakan menikah bagi yang sudah mampu,serta dengan mengembangkan syariat
islam di negeri ini.
v
Dan
tentang bayi yang lahir daripadanya, penulis cenderung mengambil pendapat
kedua, dimana status anak tersebut bukan anak suaminya secara hukum namun
secara biologis termasuk anaknya, karena kejadian bayi itu bersumber dari zat
spermanya. Maka bayi tersebut adalah anak hasil zina, yang secara hukum tidak
mendapatkan warisan dari orang yang mengawini ibunya ketika dikandung, karena
tidak diakui sebagai ayahnya oleh hukum islam.
B.
SARAN
Penulis sepenuhnya menyadari akan
kekurangan makalah kami, dengan penuh kerendahan hati, penulis menanti
kritik/saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Zaini,
Muderis.1995.Adopsi “ Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”.Jakarta : Sinar
Grafika.
Zuhdi,
Masjfuk.1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta : Toko Gunung Agung.
Drs. H. Mahjuddin, M.Pd.I, “ Masailul
Fiqhiyah “ , Jakarta: Kalam Mulia.
Pro. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung.
Pro. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung.
Prof.Dr.M.Mutawalli
Asy-Sya’rawi. 2000. Dosa Dosa Besar . gema insane press. Jakarta.
USt. Drs. Moh.
Saifulloh Al Aziz S. 2002. Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah
umat islam dengan berbagai permasalahannya. Terbit terang. Surabaya
izin copy makalahnya ya
BalasHapusizin copy gan buat referensi
BalasHapus