Karena
subjeknya adalah sesuatu yang mendului konsep itu sendiri, yaitu wujud, maka
filsafat tidak memerlukan prinsip-prinsip konseptual, sedangkan definisi
pokok-pokok masalah partikularnya tertera pada permulaan setiap pembahasan,
sebagaimana biasanya terjadi dalam ilmu-ilmu lain.[1]
Sejak
pertama kali Socrates menyebut dirinya sebagai filosof, istilah filsafat
digunakan sebagai lawan dari sophistry (ke-sophis-an atau kerancuan berpikir),
dan memuat seluruh ilmu hakiki seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi,
matematika dan teologi. Sampai sekarang, dalam banyak perpustakaan terkenal
dunia, buku-buku fisika dan kimia masih dikelompokkan dalam kategori filsafat.
Haya bidang-bidang berdasarkan kesepakatan seperti bidang kosakata, tata
kalimat dan tata bahasa yang berada di luar wilayah filsafat.
Atas
dasar itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî lebih memilih pola pembagian Yunani
ketimbang pola pembgain modern, dengan menjadikan filsafat sebagai kata umum
untuk seluruh ilmu hakiki, yang dibagi menjadi dua kelompok umum: ilmu-ilmu
teoretis dan praktis. Ilmu-ilmu teoretis meliputi ilmu-ilmu alam, matematika
dan teologi.
Ilmu-ilmu
alam pada gilirannya meliputi kosmologi, mineralogi, botani dan zoologi;
matematika meliputi aritmetika, geometri, astronomi dan musik. Teologi dibagi
menjadi dua kelompok: metafisika atau perbincangan umum seputar wujud; dan
teologi ketuhanan. Ilmu-ilmu praktis bercabang tiga: moralitas atau akhlak;
ekonomi.[2]
Karena
perbedaan makna yang disebutkan tentang ilmu dan filsafat, hubungan di
antaranya juga menjadi berbeda sesuai dengan makna yang digunakan. Jika “ilmu”
dipakai untuk arti kesadaran secara tak terikat, atau jika ia dipakai untuk
arti kumpulan proposisi yang saling berkaitan, maka ia artinya jadi lebih umum
daripada filsafat. Soalnya, ia mencakup proposisi-proposisi partikular dan
ilmu-ilmu konvensional. Jika ilmu dipakai untuk arti proposisi-proposisi
universal hakiki, ia menjadi setara dengan filsafat dalam arti kuno. Jika
dipakai untuk arti proposisi-proposisi empiris, ia menjadi lebih sempit
daripada filsafat dalam arti kuno dan bertentangan dengan filsafat dalam arti
modern. Demikian pula, metafisika merupakan bagian filsafat dalam arti kuno dan
setara dengann filsafat dalam salah satu makna modernnya.
Pertentangan
filsafat dan ilmu dalam arti modern, seperti diketengahkan oleh para positivis,
tidak lain bertujuan untuk merendahkan nilai filsafat dan mengingkari kedudukan
akal dan nilai pemahaman intelektual. Anggapan itu jelas-jelas tidak benar.
Saat mengupas epistemologi, saya akan menerangkan bahwa nilai pemahaman
intelektual bukan saja tidak kurang dibandingkan dengan pengetahuan indrawi dan
hasil pengalaman (experiential), melainkan lebih tinggi daripada keduanya.
Bahkan, nilai pengetahuan hasil pengalaman bermuara pada nilai pemahaman
intelektual dan proposisi-proposisi filosofis.
Atas
dasar itu, penyempitan makna ilmu pada pengetahuan empiris dan filsafat pada
sesuatu yang non-empiris bisa diterima kalau cuma sebatas perkara terminologi,
tapi perbedaan kedua istilah itu tidak untuk mencitrakan soal-soal filsafat dan
metafisika sebagai persangkaan kosong. Demikian pula, label “ilmiah” tidak
memberikan keunggulan pada suatu kecenderungan filosofis. Label itu laksana
tambalan yang tidak pas pada filsafat, sehingga hanya akan menandakan kebodohan
dan upaya demagogis pemasangnya.
Klaim
bahwa prinsip-prinsip filsafat seperti materialisme dialektika berasal dari
hukum-hukum empiris adalah keliru, lantaran tiada hukum-hukum suatu ilmu
(empiris) yang dapat digeneralisasikan pada ilmu lain, apalagi pada seluruh
eksistensi. Misalnya, hukum-hukum psikologi dan biologi tidak dapat
digeneralisasikan pada fisika atau kimia atau matematika dan demikian pula
sebaliknya. Hukum-hukum suatu ilmu tidak berarti apa-apa di luar bidangnya
sendiri.[3]
Dari
penjelasan diatas, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî mengajukan alasan pemilahan ilmu.
Menurutnya, masalah-masalah yang bisa dikenali merupakan spektrum yang luas.
Dalam spektrum itu, sebagian masalah saling berhubungan erat, sedang sebagian
lainnya tidak. Pada sisi lain, pemahaman satu jenis pengetahuan bergantung pada
pemahaman lainnya, atau paling tidak pemahanan satu jenis pengetahuan membantu pemahaman
lainnya, sementara hubungan ini tidak terwujud pada jenis-jenis pengetahuan
lainnya.
Menurutnya,
karena adanya fakta bahwa memperoleh seluruh pengetahuan mustahil bagi
seseorang, dan kalaupun mungkin, tidak semua tergerak untuk itu, sejak dahulu
para pengajar memutuskan untuk secara jitu mengklasifikasi topik-topik yang
bertalian, kemudian menentukan pelbagai tipe ilmu dan pengetahuan. Beragam ilmu
dikategorikan dan kebutuhan atas masing-masingnya dijabarkan, dan akibtanya
prioritas masing-masing tertandaskan. Dengan begitu, pertama, seorang yang
berbakat dan berselera tertentu bisa menemukan apa yang dicarinya dari tumpukan
masalah tak berbilang dan jalan untuk mencapai tujuannya. Kedua, orang yang
hendak mengenal bidang pengetahuan lain bisa mengetahui titik memulai dan
mempermudah jalan untuk memperoleh bidang pengetahuan lain itu.
Oleh
sebab itu, ilmu-ilmu dipilah-pilah ke dalam beberapa bagian. Tiap-tiap bagian,
pada gilirannya, diletakkan pada kategori dan tingkat tertentu. Secara umum,
ilmu dibagi menjadi teoretis dan praktis. Ilmu-ilmu teoretis dipecah menjadi
ilmu-ilmu alam, matematika dan ketuhanan, sedang ilmu-ilmu praktis dipecah
menjadi etika, ekonomi rumah tangga dan politik¾sebagaimana disebutkan
sebelumnya.
Setelah
menjelaskan pendapatnya tentang kemestian klasifikasi ilmu, Muhammad Taqî
Misbâh Yazdî membahas tolok ukur dan dasar klasifikasinya. Menurutnya, ilmu
dapat diklasifikasi sesuai dengan beragam standar, di antara yang terpenting
adalah sebagai berikut.
Menurut
metode dan prosedur penelitian. Sebelumnya telah kita jelaskan bahwa semua soal
tidak bisa dikaji dan diteliti dengan satu metode. Lantas, kita jelaskan bahwa
berdasar metode umum penyelidikannya, semua ilmu dapat dipecah menjadi tiga
kelompok:
1.
Ilmu-ilmu rasional, yang diselidiki lewat bukti-bukti rasional dan penyimpulan
mental belaka, seperti logika dan filsafat ketuhanan;
2.
Ilmu-ilmu empiris, yang diverifikasi lewat metode-metode empiris, seperti
fisika, kimia dan biologi.
3.
Ilmu-ilmu nukilan (narrative sciences), yang ditilik lewat dokumentasi naratif
atau historis, seperti sejarah, biografi (‘ilm al-rijâl) dan fiqh.
Menurut
tujuan dan sasaran. Tolok-ukur lain untuk mengelompokkan ilmu ialah berdasarkan
pelbagai manfaat dan akibatnya. Inilah matalamat dan sasaran yang dituju oleh
mereka yang hendak mempelajarinya, semisal tujuan-tujuan material, spiritual,
individual dan sosial dari ilmu bersangkutan. Jelas bahwa orang yang hendak
mencari jalan penyempurnaan spiritual harus mempelajari berbagai hal yang tidak
dibutuhkan oleh seorang yang ingin menjadi hartawan dengan bertani dan
berindustri. Begitu pula seorang pemimpin masyarakat membutuhkan jenis
pengetahuan yang khusus. Karenanya, ilmu-ilmu manusia juga bisa diklasifikasi
sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Menurut
pokok soal (subject matter). Mengingat bahwa semua masalah mempunyai pokok soal
dan sejumlah soal bisa dihimpun dalam satu topik induk, maka topik induk inilah
yang berperan sebagai poros bagi semua masalah yang di bawahnya, seperti angka
adalah pokok masalah aritmetika, volume (kuantitas-kuantitas berSinambung)
adalah pokok masalah geometri dan tubuh manusia adalah pokok masalah ilmu
kedokteran.
Klasifikasi
ilmu berdasarkan pokok-pokok masalah kiranya lebih menjamin tercapainya tujuan
pemilahan ilmu, lantaran dengan metode ini kaitan-kaitan internal dalam tatanan
dan susunan mereka tetap terpelihara. Oleh sebab itu, sejah dahulu para filosof
besar menggunakan metode ini dalam klasifikasi ilmu. Tetapi, dalam pen-subdivisi-an
kita dapat mempertimbangan metode-metode lain. Umpamanya, seorang bisa
menetapkan suatu ilmu bernama teologi, yang pokok masalahnya berkisat tentang
Tuhan Mahabesar. Lalu, ilmu ini sendiri dapat disubdivisikan ke dalam teologi
filosofis, gnostis dan religius, yang masing-masingnya dapat diselidiki dengan
prosedur yang khas. Dalam kenyataannya, tolok-ukur subdivisi ini ialah metode
penelitiannya. Dengan cara sama, pokok masalah matematika bisa dibagi menjadi
beberapa cabang berdasarkan tujuan spesifiknya masing-masing, seperti
matematika fisika dan matematika ekonomi.
Selanjutnya,
Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menjelaskan tujuan studi filsafat. Menurutnya,
tujuan jangka pendek dan langsung semua ilmu adalah menyadarkan manusia
terhadap pelbagai masalah yang terungkap dalam ilmu tersebut, serta memuaskan
dahaga kodratinya untuk memahami kebenaran. Pasalnya, salah satu naluri paling
mendasar manusia adalah mencari kebenaran atau keingintahuan yang tak berhingga
dan tak terpuaskan. Pemuasan relatif atas naluri ini akan memenuhi salah satu
kebutuhan jiwa. Walaupun tidak semua individu memilikinya dalam tingkat yang
sangat aktif dan penuh gelora, namun naluri ini tidak pernah sepenuhnya lenyap
dari diri manusia.[4]
Pada
galibnya, setiap ilmu mempunyai pelbagai manfaat dan dampak tidak langsung
serta bertindak sebagai medium kehidupan material dan spiritual manusia.
Umpamanya, ilmu-ilmu alam lebih memudahkan proses pemanfaatan alam dan
meningkatkan kesejahteraan fisik manusia, serta terpaut dengan kehidupan alami
dan hewani manusia melalui satu sarana. Matematika memiliki dua medium untuk
mencapai tujuan-tujuan di atas—kendati dengan cara lain, dapat pula
mempengaruhi kehidupan spiritual dan dimensi maknawi manusia. Khususnya, saat
matematika berkelindan dengan isu-isu filsafat, ketuhanan, dan penghayatan
gnotis (‘irfâniyyah) hati, serta membeberkan gejala-gejala alam sebagai imbas
keteraturan, keagungan, kebijaksanaan, dan kasih sayang (luthf) ilahi.[5]
Hubungan
dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu filsafat lebih
dekat ketimbang hubungannya dengan ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu-ilmu alam
berhubungkan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu
filsafat. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filosofis,
dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan
seseorang kepada Tuhan, Sang Mahabesar, berikut sifat-sifat keindahan dan
keagungan-Nya, seraya mempersiapkan manusia untuk berhubungan dengan sumber
pengetahuan, kekuasaan, dan keindahan tak berhingga.
Psikologi
filosofis, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, memudahkan manusia untuk
mengenali ruh berikut sifat-sifat dan ciri-cirinya serta menggugah kesadaran
terhadap substansi (jawhar) kemanusiaan. Ia memperluas cakrawala seputar
hakikat diri manusia, seraya mengajaknya melampaui alam fisik berdimensi
spasio-temporal (ruang-waktu). Selain pula memasok pemahaman bahwa hidup
manusia tidaklah terbatas dan terkungkung dalam bingkai kehidupan duniawi dan
material yang serba sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola
menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan abadi dan
kesempurnaan puncak.[6]
Dalam
upaya mencecap semua pengetahuan tak terhingga itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî
menyarankan sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah
dipecahkan terlebih dahulu. Karena itu, menurutnya, filsafat pertama merupakan
kunci perbendaharaan tak terhingga dan tak tertandingi yang menjajakan
kebahagian dan keuntungan abadi itu. Itulah akar yang diberkahi dari “pohon
yang baik”.
Selain
itu, filsafat juga membantu manusia menghalau godaan was-was setan dan menampik
gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari penyimpangan berpikir dan
ragam jerat yang memerangkap; melindunginya dengan senjata pamungkas di arena
adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran
yang benar, sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-padangan dan
aliran-aliran keliru, palsu, dan tidak sehat.[7]
Selain
dengan unik berperan positif dan konstruktif, filsafat, menurut Muhammad Taqî
Misbâh Yazdî juga punya peran tak tertandingi dalam hal pertahanan dan
serangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam konteks penyebaran budaya Islam serta
penggusuran budaya-budaya lawan.
Dari
penjelasannya tentang subjek dan tujuan filsafat, penulis menyimpulkan bahwa
Muhammad Taqî Misbâh Yazdî berpandangan bahwa filsafat yang terutama adalah
ontologi, dan yang terutama dalam ontologi adalah teologi, dan bahwa tujuan
ultimumnya adalah pengenalan terhadap Kausa Prima, Tuhan.
Menurut
penulis, sebagaimana pada kritik atas penentuan Muhammad Taqî Misbâh terhadap
subjek dan pengertian filsafat dan subjek ontologi yang menyisakan tanda tanya,
klarifikasi Muhammad Taqî Misbâh tentang isytirak lafzhi dan isytirak ma’nawi
kata ‘wujud’ merupakan indikasi nyata ketidadisiplinan para filosof Muslim pada
umumnya dalam menggunakan terminologi. Sedemikian rancu dan menimbulkan
penafsiran ganda pengertian di balik kata “wujud” sehingga Muhammad Taqî Misbâh
perlu membahas masalah ini secara panjang lebar.
Harus
diakui, langkah dan inisiatif ini sangat berguna, namun pada saat yang sama,
ini memberikan kesan bahwa sebagian polemik dalam literatur filsafat Islam
boleh jadi diakibatkan oleh sengketa etimologis dan hermuentik, bukan
filosofis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar